Selasa, 03 November 2009

Bunga Desember a.k.a Blood Lily

Tidak sesuai namanya, Bunga Desember biasanya mulai berbunga di akhir musim kemarau sekitar bulan Oktober-November mengikuti tetesan air yang menandai awal musim penghujan. Ya... Tanaman berumbi yang juga disebut sebagai blood lily atau Haemanthus muftiflorus (Tratt.) Martyn ini hanya tumbuh di waktu musim hujan. Pada musim kemarau, tanaman ini biasanya mati dan hanya meninggalkan umbi-umbinya di dalam tanah.
Dua tahun lalu, pakne Diki mendapatkannya di antara belukar di pinggir hutan jati di pelosok pedesaan di Kabupaten Kendal (terlalu banyak "di" ya?). Sesampai di rumah, diberikanlah kepada saya dan segera saya pindahkan ke pot. Waktu itu, si Bunga Desember itu sedang kuncup berbunga. Putiknya yang berjumlah banyak, berbentuk jarum bercabang-cabang membentuk lingkaran bulat merah segar nan indah.

Bunga Desember

Sayangnya, pada akhir musim kemarau tahun lalu, sebut saja "bunga" itu, tidak berbunga seperti yang diharapkan. Siraman yang teratur membuat "bunga" tetap segar sepanjang musim kemarau dan bertambah subur pada musim hujan selanjutnya. Jadi, untuk dapat menikmati dan mereguk keindahan si "bunga", sebaiknya dibiarkan saja menuruti kehendak musim. Saya merasakan keindahan yang sama ketika berhasil memperkosa bougenville untuk berpuasa air selama beberapa waktu dan memberikan banyak siraman air sesudahnya. Bunga-bunga bougenville akan ramai muncul memamerkan keindahan.
Dan saya pun heran ketika sekarang si Bunga Desember berbunga lagi. Sudah beberapa bulan lamanya hijau segar daunnya. Tiba-tiba muncul bunga itu lagi di antara pot-pot yang tak terpakai. Ternyata masih ada umbi yang tersisa, tidak hanya di pot tak terpakai itu, juga di belukar di pojok halaman. Selidik punya selidik, rupanya kemalasan Diki menyiram tanaman selain berperan merusak beberapa tanaman juga membangkitkan tanaman-tanaman yang berhibernasi di musim kemarau...
Sekarang, Bunga Desember dan Bougenvile sedang berlomba berdandan mempesona memikat kumbang...
READ MORE - Bunga Desember a.k.a Blood Lily

Rabu, 08 April 2009

Mendidik Anak, bagaimana baiknya?

Saya termasuk ibu yang cukup galak pada anak-anakku. Disiplin, tapi tidak ingin anak-anak jadi kurang gaul. Jadi, walaupun anak-anak bebas bermain tetap harus patuh pada waktu makan, waktu istirahat, dan terutama waktu mengaji dan sholat. Saya ingin anak-anak jadi berani, dalam arti berani mengeluarkan pendapat, berani membela diri, berani bertanggung jawab, berani apa saja asal tidak berani kepada orang tua. Waduh!...
Kalau bapaknya anak-anak cenderung kalem dan memberi kebebasan lebih pada anak-anak. Tapi kalau sudah marah seperti singa. Kata Diki yang suka baca komik, mungkin bapak punya ilmu "senggoro macan", hehehe. (Rupanya Diki kapok karena sepedanya pernah dibanting, gara-gara ban-nya bocor dan Diki tidak segera membawanya ke bengkel. Akhirnya paham juga bahwa bapak ingin anaknya bertanggung jawab dan tidak tergantung pada orang lain). Eh, teman-teman Diki yang baru sekali ketemu bapaknya biasanya berkomentar kalau bapaknya Diki tampangnya serem, galak seperti preman, dan lain-lain. Setelah kenal biasanya komentar mereka berubah 180 derajat. Kenyataannya bapaknya Diki memang baik dan toleran.
Kembali ke laptop, eh, ke persoalan mendidik anak... Saya punya keyakinan bahwa setiap orang tua belajar mendidik anak dari cara orang tua mereka masing-masing mendidik anak-anaknya. Kemudian membandingkan dengan cara orang lain (panutan) yang dianggap baik, belajar dari buku-buku, belajar dari pengalaman diri sendiri dan orang lain, menggabungkan dengan keyakinannya sendiri dan selanjutnya memberlakukan cara yang khas pada anak-anaknya. Tidak ada jaminan bahwa satu cara tertentu lebih baik daripada cara yang lain. Mungkin ada cara yang ideal, tapi sangat mungkin susah mengkondisikan. Sering dijumpai orang tua yang sangat keras/disiplin dalam mendidik anak, hasilnya ada yang baik, tapi ada juga anak hasil didikan keras yang selalu berusaha lari dari kondisi keras/disiplin itu. Ada juga orang tua yang kalem dalam mendidik anak. Hasilnya, si anak jadi merasa bertanggung jawab pada diri sendiri atau sebaliknya si anak jadi pemalas. Jadi bingung, harus keras atau kalem kalau semua bersifat coba-coba.
Saya sendiri merasa cukup beruntung, anak-anak cukup berprestasi di sekolah, disiplin sholat lima waktu, Diki sudah khatam Qur'an dua kali, Nanin yang baru kelas dua SD sudah sampai juz 10 dan sudah bisa membantu cuci piring, dan semua piawai naik sepeda. Maaf... naik sepeda aku pandang hebat karena sampai umur kepala empat ini aku masih belum bisa naik sepeda, gara-gara dulu sering dilarang ortu yang khawatir kalau anaknya jatuh, hehe. Tapi saya tidak menyesal karena saya punya keyakinan juga bahwa setiap orang tua selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Nah... Dengan hasil yang saya dapatkan, apakah ini berarti bahwa cara saya mendidik anak adalah terbaik? Tentu saja tidak!. Saya juga coba-coba, biarin aja kalau ada yang koment "buat anak kok coba-coba!".
Kata Diki, semakin banyak mencoba dan membandingkan tentu semakin mengerti, dan akhirnya pikiran tidak terkungkung pada satu hal saja yang dianggap ideal. (sekali lagi --dianggap ideal--). Oooo lhadalah, itu karena Diki sedang belajar beberapa operating system, dia tidak suka kalau pakai jendela melulu, ingin pintu yang lain. Ah... jadi ngelantur nih!


(maaf, gambarnya tidak sesuai topik cerita, itu gambar diki yang sedang bingung mengkoneksikan internet dari axioo dengan igos nusantara melalui dku5 dan nokia 6225, kalau dari jendela dia sudah mahir)

Cerita lain tentang Diki dan Nanin ada juga di sini.

Dan akhirnya, tentang mendidik anak, bagaimanakah baiknya???
READ MORE - Mendidik Anak, bagaimana baiknya?

Selasa, 28 Oktober 2008

Menur dan Markisa

Dulu saya pernah bercerita mengenai tanaman hias di rumah saya. Sampai berbulan-bulan sesudah itu, masih tersisa sebagian halaman yang rupanya terlalu sulit untuk ditanami. Kebetulan sudutnya kurang tepat sehingga panas matahari membakar tempat itu dan menjadikannya gersang. Beberapa kali saya mencoba menempatkan tanaman hias di tempat itu, jadinya malah daunnya terbakar dan beberapa malah layu dan mati, padahal saya sudah berusaha menjaga ketersediaan air untuk tanaman-tanaman itu. Akhirnya, selama ini, saya hanya bisa memanfaatkan tempat itu untuk menjemur kasur dan menjemur pakaian.
READ MORE - Menur dan Markisa